Sabtu, 01 Januari 2011

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul didunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang yunani. Diantara filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat yunani adalah filsafat Persia, cina, India, dan tentu saja filsafat islam.
Tokoh yang paling popular dan dianggap paling berjasa dalam membuka mata barat adalah Ibn-Rusyd. Dalam dunia intelektual barat, tokoh ini lebih dikenal dengan nama averros. Begitu populernys Ibnu Rusyd dikalangan barat, sehingga pada tahun 1200-1650 terdapat sebuah gerakan yang disebut viorrisme yang berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd. Dari Ibnu Rusydlah mereka mempelajari Fisafat yunani Aristoteles (384-322 s.M), karena Ibnu Rusyd terkenal sangat konsisten pada filsafat Aristoteles. Maka dari itu pada kesempatan kali ini pemakalh mencoba untuk mengkaji filsafat beliau.
  1. Rumusan Masalah
  1. Pemikiran filasat ibnu rusyd
  2. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
  3. agama dan filsafat menurut Ibnu rusyd
  4. metfisika dan moral menurut Ibnu rusyd
BAB II
PEMBAHASAN

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD

A. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Ahmad bin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd atau Abu Al-Walid atau Averroes lahir di Cordova, 1126M (520 H) Ia berasal dari keluarga ilmuan. Ayahnya dan kakeknya adalah para pencinta ilmu dan merupakan ulama yang sangat disegani di Spanyol. Ayahnya adalah Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) adalah seorang fqih (ahli hokum islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad Ibn Ahmad (wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh madzhab Maliki dan imam mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya Ibnu Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pada tahun 548 H/1153 M, Ibnu Rusyd pergi ke Marakesh (Marakusy) Maroko atas permintaan Ibnu Thufail (w. 581 H/1185 M), yang kemudian memperkenalakannya dengan khalifah Abu Ya’qub Yusuf. Dalam pertemuan pertama anatara Ibn Rusyd dengan Khalifah terjadi proses Tanya jawab diantara keduanya tentang asal-usul dan latar belakang Ibnu Rusyd, selain itu mereka juga membahas tentang berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd menyangka bahwa petanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karna persoalan ini sangat kurasial dan sensitif ketika itu.
Ternyata dugaan itu meleset. Khalifah yang pencinta Ilmu ini malah berdiskusi dengan ibnu thufail tentang masalah-masalah di atas. Khalifah Abu ya’kub dengan fasih dan lancar menjelasan persoalan-persoalan itu dan mengutif pendapat-pendapat seperti plato dan aristoteles. Khalifah dan ibnu thufail, sama-sama terlibat dalam diskusi yang berat. Terlihat bahwa khalifah yang memang pencinta ilmu pengetahuan ini sangat menguasai persoalan ilmu filsafat pendapat-pendapat mutakallimin atau teolog Plato dan Aristiteles. Ibnu Rusyd kagum pada pengetahuan khalifah tentang filsafat. Karenanya ia pun berani menyatakan pendapatnya sendiri. Pertemuan pertama ini ternyata membawa berkah bagi ibnu Rusyd. Ia diperintahkan oleh khalifah untuk menterjemahkan karya-karya aristoteles menafsirkannya. Pertemuan itu pun mengantarkan Ibnu Rusyd untuk menjadi qodhi di sevile setelah dua tahun mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim agung di kordoba, selain tu pada tahun 1182 ia kembali keistana muwahidun di marakhes menjadi dokter pribadi khalifah pengganti ibnu thufail.
Pada tahun 1184 khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Abu Yusuf Ibnu Ya’kub Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya khalifah ini menghormati Ibnu Rusyd sebagaimana perlakuan ayahnya, namun pada 1195 mulai terjadi kasak-kusuk dikalangan tokoh agama, mereka mulai menyerang para filsafat dan filosof. Inilah awal kehidupan pahit bagi Ibnu Rusyd. Ia harus berhadapan oleh pemuka agama yang memiliki pandangan sempit dan punya kepentingan serta ambisi-ambisi tertentu. Dengan segala cara mereka pun memfitnah Ibnu Rusyd. Akhirnya Ibnu Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatnnya. Pada tahun 1195 ia diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi yang terletak sekitar 50 km di sebela selatan cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum, kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta astronomi yang tidak dibakar. Selain Ibn Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh fukaha’ dan sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd Allah ibn Ibrahim (hakim di afrika), Abu Ja’far al-Dzahabi, Abu Rabi’ al-Khalif dan Nafish Abu al-‘Abbas.
Menurut Nurcholish, penindasan dan hukuman terhaap Ibn Rusyd ini bermula karena Khalifah al-Mansyur ringin mengambil hati para tokoh agama yang biasanya memiliki hubungan emosional dengan masyarakat awam. Khalifah melakukan hal ini karena didesak oleh keperluan untuk memobilisasi rakyatnya menghadapi pemberontakan orang-orang Kristen Spanyol. Disamping itu,hal yang cukup menarik, sikap anti kaum muslim Spanyol terhadap filsafat dan para filosof lebih keras daripada kaum muslim Maghribi atau Arab. Ini digunakan oleh pimpinan-pimpinan agama untuk memanas-manasi sikap anti terhadap filsafat dan cemburu kepada filosof.
Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah menunjukkan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada pemikirab kreatif Ibn Rusyd, sutau sikap yamg sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al- Mansyur merehabilitasi Ibn Rusyd an memanggilna kembali ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat perlakuan hormat. Tidak lama setelah itu, pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1197 Ibn Rusyd meninngal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya, Cordova.[1]
B. Pemikiran Ibnu Rusyd
  1. Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.
Terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan kesesuain ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya. Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Sebuah buku yang sampai ke Eropa, dengan rupa yang lebih terang, daripada buku-bukunya yang pernah dibaca oleh orang Eropa sebelumnya. Dalam buku ini kelihatan jelas pribadinya, sebagai seorang muslim yang saleh dan taat pada agamanya. Buku ini lebih terkenal dalam kalangan filsafat dan ilmu kalam untuk membela filsafat dari serangan al-ghazali dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
Menurut Ibnu Rusyd, Syara’ tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk mempergunakan akalnya, seperti yang jelas dalam irman Allah : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan firman Allah suiarah Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”. Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan kias akali, karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak lain dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari apa yang belum diketahui.
Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambang atau simbol bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
  1. Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, ibnu rusyd berpendapat bahwa allah adalah penggerak pertama (muharrik al awwal), sifat positif yang diberikan oleh allah adalah akal. Wujud allah adalah esa-nya. wujud Dan ke esa-annya tidak berbeda dengan zat-nya[2]
Dalam pembuktian adanya tuhan sendiri, golongan hasywiyah, shufiyah, mu’tazilah, asy’ariyah dan falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai pendappat yang berbeda satu sama lainnya.dengan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata kata syari’i sesuai dengan kepercayaan mereka.golongan hasywiyah misalnya mereka berpendapat bahwa cara mengenal tuhan adalah melalui sama’ (pendengaran) saja, bukan melalui akal. Mereka berpegang pada riwayat-riwayat syr’I yang muttashil tanpa menggunakan ta’wil.[3] Ibnu rusyd menolak jalan pikiran yang demikian, karenanya islam mengajak kita untuk memperhatikan alam maujud ini dengan akal pikiran kita.[4]
Cara mengenal tuhan menurut golongan tasawuf adalah bukan berupa pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan, akan tetapi melalui jiwa yang ketika terlepas dari hambatan-hambatan duniawi dan menghadapkan pikiran pada zat yang maha mengampuni. Ibnu rusyd mengatakan bahwa keterangan tersebut pun tidak bisa diperlakukan untuk umum, karena derajat keimanan manusia tidaklah bisa disama ratakan
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dan karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.
a. Dalil ‘inayah (pemeliharan)
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini, mulai dari siang, malam, matahari bulan dan lain sebagainya, memang dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan kehidupan manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaja diciptakan dan dipelihara demikian oleh sang pencipta bijaksana.
b. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tunduk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.
c. Dalil harkah (Gerak.)
Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Gerakan tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda yaitu tuhan.[5]
Dalil pertama dan dalil kedua disepakati oleh semua pihak karena sesuai dengan syari’at karena adanya ayat-ayat al-qur’an yang mengisyaratkan pada dalil tersebut. Sedangkan dalil ketiga adalah dalil yang pertama kali dicetuskan oleh aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh ibnu sina, alfarabi dan ibnu rusyd sendiri.
  1. Moral
Ibnu rusyd membenarkan teori plato bahwa manusia adalah makhluk social yang membutuhkan kerjasama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam mencapai kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutaman akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang juaga mengajarkan keutamaan teoristis, untuk itu diperlukan kemampuan berhubungan dengan akal aktif.
Ibnu rusyd merupakan filsuf muslim rasional, yang mempercayai kekuatan akal, dan menggunakannya sebagai alat untuk mencari kebenaran di samping wahyu, namun bukan berarti kebebaan liar seperti yang terjadi pada averoisme yang free thinker ateis, ia tidak mengutamakan akal daripada wahyu. Tetapi mewariskan pada kita pemikiran rasional yang sesuai dengan sinyal kebenaran yang dipantulkan oleh al quran dan hadith, tidak ada satupun ajarannya yang tidak sesuai dengan alquran dan al hadith. Berbeda dengan averoisme yang mengajarkan double truth, yang akhirnya menganggap manusia tidaklah butuh agama dan menjadi ateis.[6] Na’udzu billahi min dzalik.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Muhammad ibnu Ahmad bin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd atau Abu Al-Walid atau Averroes lahir di Cordova, 1126M (520 H) Ia berasal dari keluarga ilmuan.
Pemikiran Ibnu Rusyd di antaranya ialah:
1. Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian sarjana dan ulama islam
2. Metafisika meliputi:
· Dalil wujud Allah
· Dalil ‘inayah (pemeliharan)
· Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
· Dalil harkah (Gerak.)
4. Ibnu rusyd membenarkan teori plato bahwa manusia adalah makhluk social yang membutuhkan kerjasama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam mencapai kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutaman akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang juaga mengajarkan keutamaan teoristis, untuk itu diperlukan kemampuan berhubungan dengan akal aktif.

DAFTAR PUSTAKA
Hasyimsyah nasution, filsafat islam, radar jaya Jakarta 1999
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) h. 21-25
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1986) h. 161-175
Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 1991) h.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang; Dina Utama Semarang, 1993), h.86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar